2009/06/11

Menghadapi Stigma, Melawan Media, Demi Pembelajaran Publik


Citra negatif kerap mewarnai perjalanan hidup dan karir seorang Tommy Winata (TW). Selain tudingan sebagai raja judi dan pebisnis senjata ilegal, dia juga pernah terlibat sengketa dengan insan pers. Tapi di balik itu, TW punya penilaian tersendiri atas citra diri dan relevansinya dengan kondisi kebangsaan kita saat ini.

M YUSUF AR- Lampung

Seperti apa?Pergaulan dengan tentara, menempa TW kecil hingga dewasa sebagai pribadi disiplin dan berwawasan kebangsaan. Pandangan-pandangannya terhadap nasionalisme keindonesiaan sangat mengesankan. Kami sempat terperangah diam-diam dalam perbincangan yang berlangsung sekitar 50 menit itu.
Misalnya, dia mengingatkan kembali bagaimana prinsip gotong-royong dan azas musyawarah mufakat seakan terlupakan dalam praktik kenegaraan kita saat ini.
TW yang melanglang buana ke berbagai negeri di dunia ini justru mengingatkan bahwa sekarang kecenderungan pemikiran ke arah liberal, mengabaikan nilai-nilai luhur bangsa. “Ini tidak bagus. Kita seharusnya tetap teguh pada ekonomi Pancasila, ekonomi gotong-royong dan berkeadilan sosial,” jelas TW.
Pria berambut kombinasi hitam dan perak ini mengaku tidak luput menerapkan prinsip-prinsip Pancasila dalam berbangsa dan bernegara. Alasannya simpel, karena secara resmi Pancasila masih merupakan ideologi bangsa Indonesia.
“Pada saat semua orang bilang harus pakai lengan panjang, kemudian yang lain bilang tidak, pakai lengan pendek lebih bagus. Tapi kalau secara resmi protapnya pakai lengan panjang, maka saya akan bicara lengan panjang. Pokoknya berjalan sesuai konstitusi,” tegas TW.
Karena itu, dia mewanti-wanti untuk tidak lagi mengarahkan pemikiran orang-orang kepada adagium bahwa money can do everything, and then money can be set anything. Demi masa depan negara yang lebih baik. Menurut TW, kita lebih fokus pada pemikiran negatif yang tidak produktif menilai seseorang.
Seolah-olah bila melakukan sesuatu, pasti punya arah dan maksud tertentu. Sudah saatnya melihat sesuatu dari segi general knowledge terhadap big sale-nya yang berujung pada general development seseorang dimana dia menjadi kader yang pas untuk memimpin bangsa.
“Kenapa tidak dikonotasikan dalam perspektif itu, selalu dikonotasikan dalam perspektif finansial, ini yang gak bagus,” keluhnya. Fenomena seperti itu pulalah yang menimpanya. “Orang akan mengatakan bahwa TW lagi yang ngongkosin. Ini gak benar.
Ironisnya, sebagian di antara Anda (kalangan pers, red) menembak dalam gelap. Sekarang saya tanya, yang terzalimi siapa dengan isu itu, yang teraniaya siapa. Adilkah itu untuk saya?”
Adakah kekecewaan itu mendasari gugatan terhadap majalah berita mingguan Tempo? TW buru-buru menyela. Dia menyebut gugatan dengan pers itu sebagai pembelajaran, agar publik tahu persis duduk persoalannya. Sehingga gugatan ke media bukan bentuk dari sebuah permusuhan dan hubungan benar-salah.
“Target saya hanya ingin rakyat dan pengusaha di Tanah Abang tahu kalau berita itu tidak benar dan bukan saya pelakunya. Karena sampai kapan pun kan tidak pernah ada bukti bahwa saya adalah bagian dari pengusaha yang membangun dan membongkar Tanah Abang, cukup. Begitu mendapatkan itu, I complete my target,” urainya.
Dia mengaku tidak mempersoalkan kalah, denda atau menang. Kalaupun dia menangkan, termasuk proses denda-mendenda atau dihukum, perdata ataupun pidana, itu semua hanya bagian dari compliment of the target.
Yang paling penting (main course-nya), kata TW, adalah bangsa Indonesia, masyarakat Jakarta dan khususnya warga Tanah Abang tahu, bukan dirinya yang mengondisikan sampai terbakar. That’s all.
Tampaknya, seperti apapun usaha TW menepis stigma dengan berbagai penjelasan dan usaha sosial, tetap saja sulit mencitrakan diri sebagai orang “baik-baik”.
Keberpihakannya dengan banyak kalangan terutama TNI-Polri memang memunculkan banyak musuh. Musuh-musuh TW seperti diakuinya, tidak hanya anak bangsanya sendiri, tapi memasuki wilayah internasional. Semua itu terkait kepentingan asing terhadap Indonesia begitu besar.
“Kalau saja semua stakeholder mengerti, maka masih bisakah negara maju mengeksploitasi kita secara tidak sehat. Mengambil timah kita, batubara, emas, minyak, tembaga, perairan, dst.,” katanya. Dia menilai kalau semua ucapannya diwujudkan, maka akan banyak orang yang membayar lembaga non formal untuk melawan dirinya.
Karena itu, rasional bila ada orang yang dibiayai melakukan character assassinasion agar saya tidak dipercaya lagi oleh publik. Sementara orang lain akan membumbukan sisi lain TW kepada penulis-penulis yang boleh jadi kurang paham masalah sebenarnya.
Akibatnya, kata dia, muncullah pemred baru yang lagi mau cari top (sensasi) dengan cara tidak profesional. “Pokoknya hantam TW dulu deh, karena menghantam TW bisa langsung top. Maaf ya, saya bukannya prejudice tapi ini ril.”
Dia menyeruput kopi meski panasnya mulai berkurang. Telepon genggamnya diletakkan begitu saja di atas meja tempat kami mengobrol. Dahi kami berkerut seketika hampir tak percaya. Masak seorang taipan kaya raya sekelas TW hanya memakai hape seperti itu.
Baru kali ini kami sempat melihatnya sangat dekat. Tidak jelas mereknya apa, tapi warna dasar birunya saja sudah tidak tampak lagi, bahkan kelihatan belang-belang di hampir semua sisinya. Begitu pula angka dan huruf keypad-nya sudah tidak terlihat lagi. Satu hal yang masih terlihat baru hanyalah gantungan hape berwarna putih biru.
TW merendah sekali. Mungkin karena hanya bertemu di sebuah pulau yang jauh dari hiruk-pikuk metropolitan yang identik dengan kemewahan dan kecanggihan, dia hanya mengenakan teknologi sangat sederhana. Yakin saja, tiba di Jakarta, pasti sudah ditempeli teknologi canggih dan fasilitas yang serba wah. (*)

Tidak ada komentar:

Pengikut

Office

Foto saya
Ogan Ilir, Ogan Komering Ilir, sumatera selatan, Indonesia